DINAMIKA
LINGKUNGAN REGIONAL, NASIONAL DAN GLOBAL PERKEBUNAN : IMPLIKASI STRATEGIS
BAGI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
Perkebunan merupakan subsektor yang
berperan penting dalam perekonomian regional dan nasional
melalui kontribusi dalam pendapatan daerah, nasional, penyediaan lapangan kerja,
penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini
tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan reginal, nasional
dan global. Perubahan lingkungan strategis nasional dan global telah mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti
dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab
tantangan-tantangan globalisasi ke depan.
Dinamika Lingkungan Regiobal dan Nasional.
Krisis ekonomi dalam yang melanda
Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Pasifik, telah membuka kesadaran
dan cakrawala baru. Sektor pertanian, khususnya perkebunan, yang akhir-akhir
ini daya tariknya tertutupi oleh glamournya sektor industri, mencuat kembali
sebagai sektor usaha yang menarik. Bahkan berbagai kalangan melihat bahwa usaha
di bidang perkebunan merupakan usaha yang strategis untuk perekonomian
Indonesia , paling tidak selama 20 – 30 tahun mendatang. Salah satu daya tarik
utamanya adalah sesuai dengan perjalanan sejarahnya, sebagai penghasil devisa.
Selain itu, dengan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, maka
pendapatan petani dalam Rupiah meningkat tajam yang apabila dikelola dengan
baik akan membuka peluang bagi pemupukan modal guna meningkatkan kinerja
perkebunan.
Namun bersamaan dengan merebaknya
krisis ekonomi menjadi krisis multidimensi, perkebunan mengalami imbas.
Berbagai permasalahan melingkupi subsektor perkebunan dan sebagian diantaranya
merupakan permasalahan yang menunjuk pada kegagalan pemerintah dalam
pembangunan perkebunan. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi hal-hal
sebagai berikut.
Masalah yang berkaitan dengan
kepentingan rakyat dan nasional.
Orientasi kebijakan perkebunan
sejauh ini membedakan secara tajam antara perkebunan besar (BUMN dan swasta,
termasuk PMA) dengan perkebunan rakyat. Implikasi kebijakan dualistik ini telah
memberi kemudahan bagi yang “besar” dan tekanan bagi yang “kecil”, dengan
gambaran sebagai berikut :
1. Perkebunan
Indonesia masih diliputi oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar
yang menggunakan modal dan teknologi secara intensif dan menggunakan lahan
secara ekstensif serta manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan
perkebunan rakyat yang susbsisten dan tradisional serta luas lahan terbatas.
Kedua sistem ini menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup
berdampingan. Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang
berkembang menjadi konflik sosial.
2. Perkebunan
Rakyat (PR) yang luasnya sekitar 80% dari perkebunan nasional masih belum
mendapatkan fasilitas dan perlindungan yang memadai dari pemerintah. Masalah
ini menjadi penting antara lain karena jumlah KK yang tergantung pada
perkebunan rakyat sekitar 15 juta.
3. Hak
menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum
sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu
ketidak-pastian hak masyarakat (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk
perkebunan belum kunjung diselesaikan.
4. Masuknya
pemodal besar ke usaha perkebunan masih belum memberikan kontribusi pada
kesejahteraan rakyat setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi
aset dan manfaat yang adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha
perkebunan.
5. Kebijakan
pengembangan perkebunan lebih berpihak pada perkebunan besar yang ditunjukkan
oleh alokasi pemanfaatan kredit, dukungan penelitian dan pengembangan, serta
pelatihan sumberdaya manusia.
6. Pengembangan
perkebunan besar lebih dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam skala besar
yang dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada beberapa
daerah kondisi demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak
negatif terhadap lingkungan.
7. Organisasi-organisasi
usaha perkebunan yang menghimpun diri dalam asosiasi pengusaha perkebunan
bersifat eksklusif dan powerful dengan tingkat kepedulian terhadap
pemberdayaan organisasi-organisasi petani/pekebun rendah.
Masalah Manajemen Pengelolaan
Perkebunan.
Kebijakan pengembangan perkebunan
yang ekstentif, sejauh ini telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi, dan product
development . Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum beberapa
komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara umum produktivitas
komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya
produktivitas komoditas perkebunan tersebut merupakan tantangan bagi
pengembangan perkebunan kedepan.
Produktivitas perkebunan nasional
masih tertinggal dari perkebunan negara tetangga, khususnya Malaysia dan
Thailand . Produktivitas kelapa sawit misalnya di Malaysia rata-rata berkisar
antara 18 – 21 ton Tandan Buah Segar (TBS)/ha/tahun. Sementara produktivitas
kelapa sawit di Indonesia baru berkisar 14 – 16 ton/ha/tahun. Produktivitas
rata-rata karet di Thailand mencapai 1 – 2 ton/ha, sementara di Indonesia
berkisar antara 0,6 – 1 ton/ha.
Khusus dalam perolehan dari nilai
tambah perkebunan besar, baik BUMN maupun PBSN, tampak masih sangat terbatas
sebagaimana diperlihatkan oleh produk akhir yang diusahakan, yaitu masih
terbatas pada produk-produk primer perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa
perkebunan Indonesia masih merupakan pensuplai bahan baku dimana industri
akhirnya berada dinegara konsumen.
Masalah Pemasaran dan Ekonomi.
Pada pasar primer, yaitu pasar hasil
perkebunan dari Perkebunan Rakyat, pekebun yang berjumlah ribuan dan terpencar
berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat
produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri
pengolahan primer. Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur
pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan PR, seperti di daerah
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru
terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan
langsung dengan industri pengolahan.
Produk perkebunan merupakan produk
yang diperdagangkan secara internasional sehingga mekanisme pasar terjadi di
pasar internasional. Dengan keterbatasan aksesnya, pekebun pada PR tidak
mendapatkan informasi pasar secara efektif. Informasi pasar (harga, mutu,
jumlah yang dibutuhkan, dan lain-lain) yang diperoleh secara efektif berasal
dari pedagang atau industri pengolahan. Akibatnya, pekebun memperoleh informasi
pasar yang bersifat tidak simetris.
Secara nasional perkembangan pangsa
pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan adanya kecenderungan
penurunan dari waktu ke waktu, tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti
Malaysia, Thailand, Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal ini mengindikasikan daya
saing industri dan produk perkebunan Indonesia masih sangat lemah.
Perekonomian perkebunan juga masih
didominasi oleh produk primer perkebunan. Padahal, potensi untuk mengembangkan
industri hilir perkebunan masih terbuka dan pasar produk hilir perkebunan lebih
prospektif. Malaysia merupakan salah satu contoh negara produsen produk
perkebunan, baik primer maupun hilir.
Masalah Sosiokultural (Sosial
Budaya).
Krisis multidimensi memicu
terjadinya konflik sosial di daerah perkebunan. Masalah konflik sosial ini
terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Pasar
lahan tidak dapat mengalokasikan lahan secara efisien dan adil. Hal ini terjadi
terutama dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta kebijakan
pengalokasian lahan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Pada saat ini kepemilikan lahan perkebunan rakyat rata-rata adalah 0,92
ha/petani, sementara pada perkebunan besar mengelola lahan rata-rata 1.947
ha/unit usaha.
2. Tatanan
dan kebijakan di bidang agraria tidak kompatibel dengan perkembangan dan
kondisi sosial masyarakat.
3. Sistim
administrasi pertanahan belum tertib, terutama dengan terjadinya duplikasi
pemilikan atau penguasaan lahan.
4. Lahan
yang tersedia belum dimanfaatkan secara efisien dan produktif. Untuk lahan HGU
perkebunan besar sekitar 4,6 juta ha,saat ini baru termanfaatkan untuk tanaman,
bangunan dan emplasemen sekitar 60%.
5.
Kepastian
hukum masyarakat terhadap lahan belum terjamin.
6.
Makin
kompetitifnya alternatif penggunaan lahan. Hal ini terutama kompetisi dengan
peruntukkan pemukiman maupun dengan industri.
7. Masih
terdapat lahan perkebunan rakyat yang berada pada kawasan hutan dan telah
berlangsung cukup lama dari generasi ke generasi.
8. Pemilikan
lahan masih berfungsi sebagai komoditas perdagangan (belum melihat lahan dari
azas manfaat).
9. Penyediaan
fasilitas pembiayaan untuk perkebunan besar swasta nasional yang mencakup 2
juta ha dibiayai dari dana kredit sebanyak 1,6 juta ha (80%), sedangkan pada
perkebunan rakyat, dari 11,2 juta ha yang ada, yang dibiayai dengan kredit
hanya sebanyak 2 juta ha (18%). Angka tersebut menunjukan masih rendahnya
perhatian lembaga keuangan terhadap pembangunan perkebunan rakyat, sebagaimana
telah digambarkan memiliki potensi sangat besar.
Masalah Lingkungan.
Metode paling efisien dalam kegiatan
pembukaan lahan perkebunan adalah pembakaran. Namun dampak lingkungan yang
ditimbulkannya sangat merugikan. Sampai saat ini, pembakaran dalam kegiatan
pembukaan lahan masih dijalankan, baik di perkebunan rakyat maupun perkebunan
besar. UU tentang pengelolaan lingkungan hidup masih memberi toleransi adanya
pembakaran terkendali untuk perkebunan rakyat dan pelarangan untuk perkebunan
besar.
Limbah padat, cair dan gas masih
menjadi masalah penting di perkebunan, baik di level on farm maupun di
pabrik. Masalah ini timbul dalam batas tertentu karena belum adanya teknologi
penanganan limbah, mahalnya investasi industri pemanfaatan limbah perkebunan
dan rendahnya kesadaran penanganan limbah dan lemahnya penerapan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan limbah.
Pengembangan perkebunan di kawasan
bekas hutan dan perkebunan rakyat tradisional serta penerapan pola tanam
monokultur menyebabkan timbulnya masalah keanekaragaman hayati. Berbagai
spesies musnah karena pengembangan perkebunan.
Masalah Iptek
Apresiasi dan perhatian terhadap
hasil Iptek masih rendah. Manajemen feodalistik perkebunan besar menganggap
penggunaan dana untuk kebutuhan Iptek sebagai pemborosan. Iptek dianggap belum menjadi
bagian integral dari pengembangan usaha perkebunan. Penyediaan dana penelitian
dan pengembangan perkebunan masih mengandalkan pemerintah dan sebagian kecil
dari BUMN.
Dengan keterbatasannya, lembaga
penelitian perkebunan hingga saat ini belum berhasil melakukan transfer
teknologi, terutama ke perkebunan rakyat secara efektif. Transfer teknologi
masih terbatas pada daerah-daerah pengembangan perkebunan rakyat.
Masalah SDM.
Permasalahan perkebunan lainnya
terkait dengan masalah kualitas sumber daya manusia perkebunan, baik dari
kalangan petani, pengusaha maupun aparat pemerintah. Sampai saat ini masih
dijumpai berbagai permasalahan sebagai berikut:
1.
Mentalitas
yang hidup dan berkembang di masyarakat belum mendukung berkembangnya
nilai-nilai yang dibutuhkan untuk kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai contoh, pada sebagian masyarakat masih sangat tergantung
kepada proyek-proyek pemerintah.
2. Daya
asimilasi dan absorbsi terhadap teknologi masih lemah. Hal ini terlihat dengan
masih terbatasnya (sekitar 20%) dari masyarakat petani yang menggunakan klon
unggul dalam usaha kebunnya.
3. Kemampuan
teknis, wira usaha dan manajemen masih rendah. Dengan kondisi ini, petani
ataupun kelembagaan ekonomi petani belum mampu memanfaatkan peluang bisnis yang
ada di lingkungannya.
4.
Kemampuan
lobby yang masih rendah. Kemampuan lobby ini dibutuhkan untuk dapat memperluas
peluang usaha, baik petani mapun dunia usaha.
Masalah Kelembagaan.
Permasalahan perkebunan juga terkait
dengan masalah kelembagaan. Kelembagaan yang ada masih belum mampu
mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat, sekaligus mempertangguh struktur
komoditas dan efisiensi dari seluruh rangkaian kegiatan. Penumbuhan kelembagaan
petani dan pengembangan kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha atau
perkebunan besar masih menghadapi beberapa kendala sebagai berikut :
1. Terjadinya
ekonomi dualistik antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar, maupun
antara hulu dan hilir yang sering menimbulkan konflik.
2. Terjadinya
praktek-praktek kegiatan monopoli, oligopoli, dan monopsoni spasial terutama di
kegiatan hilir yang menyebabkan inefisiensi usaha.
3. Kelembagaan
petani masih lemah, baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Lemahnya kelembagaan
ini kemungkinan karena terjadinya intervensi yang berlebihan dari pemerintah,
terutama dengan pembentukan KUD-KUD yang justru banyak merusak tatanan
kelembagaan masyarakat.
4.
Kelembagaan
permodalan dan investasi kurang mendukung. Dalam kondisi perekonomian seperti
saat ini, maka diperlukan lembaga keuangan alternatif yang dapat dimanfaatkan
untuk mempercepat pengembangan hutan dan kebun.
5. Kelembagaan
yang menjamin keberpihakan kepada petani masih lemah. Hal ini terjadi
kemungkinan karena anggapan bahwa petani tidak mampu untuk mengembangkan
usahanya secara ekonomis.
6. Kelembagaan
pendidikan perkebunan masih kurang. Lembaga pendidikan yang khusus menangani
perkebunan yang ada saat ini masih sangat terbatas, padahal lokasi pengembangan
perkebunan sebagian besar di luar Jawa.
7. Kelembagaan
pemasaran masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya pasar
komoditas perkebunan. Pasar ekspor komoditas perkebunan selama ini
terkonsentrasi pada negara pengimpor tradisionil, sedangkan untuk pasar baru
masih terbatas.
8. Kelembagaan
Iptek belum optimal, terutama kemampuan kelembagaan Iptek yang benar-benar
mampu menghasilkan Iptek yang dibutuhkan oleh dunia usaha.
9.
Kelembagaan
informasi belum berkembang, baik informasi di bidang iptek maupun pemasaran.
10. Kelembagaan pertanahan masih lemah.
Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya kasus-kasus lahan yang sering
menimbulkan konflik.
Masalah Otonomi Daerah.
Otonomi daerah menuntut pemanfaatan
sumber daya alam untuk peningkatan pendapatan suatu daerah. Kompetisi
pemanfaatan sumber daya alam akan terjadi sehingga ketimpangan antara daerah
satu dengan yang lain dapat saja terjadi. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya
alam ini “pedoman/acuan” pelaksanaan bagi daerah sangat diperlukan sehingga
tidak timbul kesulitan pada tataran perencanaan pengembangan, investasi,
produksi, hingga perdagangannya.
Dinamika Internasional.
Dengan pengertian bahwa komoditas
perkebunan merupakan komoditas yang dioperdagangkan secara internasional, maka
pengetahuan mengenai globalisasi dan liberalisasi perdagangan merupakan hal
yang sangat penting. Pokok perhatian dalam globalisasi dan liberalisasi
perdagangan adalah daya saing. Tanpa daya saing yang kuat maka komoditas
perkebunan Indonesia akan kalah bersaing dengan komoditas yang dihasilkan
negara lain.
Pada saat ini, posisi Indonesia dan
bahkan negara-negara produsen komoditas perkebunan lainnya belum memiliki
kemampuan yang kuat dalam menentukan situasi pasar dibandingkan negara-negara
konsumen. Situasi seperti ini merupakan situasi yang harus diperhatikan
mengingat peranan perkebunan yang cukup penting di masing-masing negara
produsen.
Dalam kaitannya dengan globalisasi
dan liberalisasi perdagangan, beberapa isu penting yang berhubungan dengan
komoditas perkebunan dan peranan perkebunan di Indonesia perlu mendapat
perhatian. Beberapa isu penting tersebut meliputi revolusi telekomunikasi,
transportasi dan turisme (Triple-T), humanisasi pasar, rekayasa tekonologi
genetika, akses pasar, subsidi domestik, subsidi ekspor dan ketahanan pangan.
Isu-isu tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
Revolusi Telekomunikasi,
Transportasi dan Turisme (Triple-T).
Gelombang globalisasi ekonomi pada
sasarnya digerakkan oleh adanya revolusi telekomunikasi, transportasi dan
turisme (Triple-T). Salah satu dampak terpenting dari revolusi ini adalah arus
informasi yang berkaitan dengan perkebunan akan berlangsung cepat dan instan
sehingga pengetahuan spesifik sebagai kekuatan untuk mempertahankan keunggulan
komoditas perkebunan di pasar menjadi berkurang maknanya. Hal ini berimplikasi
pada semakin dominannya produk dan proses yang berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam menentukan kemajuan perekonomian suatu negara. Basis IPTEK
tersebut juga menentukan keunggulan produk perkebunan dan proses yang terjadi
dalam menghasilkan produk perkebunan. Oleh karena itu, penyesuaian terhadap
tuntutan globalisasi harus menjadi kebutuhan dalam pengembangan perkebunan di
Indonesia . Penyesuaian ini sekaligus juga relevan dalam kaitannya dengan
pengembangan produk dan proses yang melingkupi perkebunan dalam era otonomi
daerah. Namun demikian, dampak negatif globalisasi terhadap perkebunan, seperti
semakin menguatnya penguasaan aset perkebunan terutama lahan oleh pihak yang
menguasai informasi, perlu juga mendapat perhatian.
Humanisasi Pasar.
Seperti dijelaskan sebelumnya,
globalisasi menentukan produk dan proses sebagai penentu keunggulan. Dengan
pengertian ini, maka mutu produk tidak hanya dilihat dari segi penampilan
(appearance), tetapi juga mencakup dimensi lain, seperti kesehatan dan
keselamatan (sanitary and phytosanitary/SPS), lingkungan (eco-labelling) dan
hak asasi manusia. Dengan ketentuan mutu ini, maka pasar produk termasuk produk
perkebunan berubah dari bersifat atomistik menjadi humanistik.
Dalam implementasinya, dengan alasan
keamanan terutama untuk produk pangan, SPS kemudian digunakan sebagai sarana
untuk menghambat perdagangan melalui penentuan standar teknis yang ketat
(Technical Barriers to Trade/TBT). Sedangkan aspek lingkungan dan HAM digunakan
untuk menjamin ketersediaan produk dan melindungi konsumen. Dengan pengertian
ini, maka produk harus sehat, aman, bugar (nyaman) bagi konsumen sekaligus
sesuai dengan selera konsumen.
Rekayasa Teknologi Genetika (Bioteknologi).
Genetically Modified Organism (GMO)
atau rekayasa teknologi genetika merupakan merupakan rekayasa teknologi
genetika untuk meningkatkan kualitas produksi hasil pertanian, termasuk
perkebunan yang tahan terhadap hama dan penyakit, serta pengaruh obat-obatan.
Permasalahannya adalah produk yang dihasilkan melalui rekayasa genetika ini
belum terlihat dampaknya terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.
Isu GMO ini dikembangkan oleh
Amerika Serikat dan dilihat oleh negara-negara berkembang dan sebagian
negara-negara Uni Eropa sebagai isu yang kontroversial. Bagi negara-negara
penentang tersebut, isu GMO ini dianggap sebagai proteksi terselubung oleh
negara maju dengan tujuan untuk menghambat perdagangan produk pertanian dari
negara-negara berkembang.
Akses Pasar.
Walaupun Persetujuan Putaran Uruguay
telah menghapuskan hambatan non-tarif dan/atau menurunkan tarif impor, upaya
pembukaan akses pasar produk pertanian bagi negara-negara berkembang di
negara-negara maju masih dihambat oleh :
1. tarif peaks yang dihasilkan dari
penerapan tarifikasi secara kurang proporsional
2. tarif eskalasi, yaitu semakin
meningkatnya tarif seiring dengan meningkatnya tahap pemrosesan suatu produk
3. masih dikenal adanya admistrasi
tarif quota yang berbelit-belit
4. masih adanya hambatan non-tarif
dalam bentuk TBT
5. masih adanya pajak ekspor
Subsidi Domestik'.
Komitmen mengenai subsidi domestik
seharusnya masih diberikan kepada negara-negara berkembang, bukan negara-negara
maju, dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Isu ini
ternyata malah dijadikan isu penting negara maju, khususnya negara-negara Uni
Eropa dan Amerika Serikat, untuk melindungi para petaninya. Dengan dukungan
dana yang besar, dukungan politik dalam negeri yang kuat, infrastruktur administrasi
dan perbankan yang berkembang dengan baik, subsidi domestik ini tetap
dipertahankan dan enggan untuk dikurangi oleh negara-negara Uni Eropa dan
Amerika Serikat.
Subsidi Ekspor.
Persetujuan Putaran Uruguay telah
menghasilkan komitmen tentang penurunan level subsidi ekspor. Namun subsidi
ekspor yang diberikan oleh negara maju dirasakan oleh negara-negara berkembang
sangat tidak adil dan semakin memperlemah posisi negara-negara berkembang dalam
perdagangan produk pertanian. Tingginya subsidi ekspor yang diberikan oleh
negara-negara maju (Uni Eropa) telah menyebabkan terjadinya distorsi
perdagangan. Subsidi ekspor ini menciptakan ketidakseimbangan pasar dan
ketidaksamaan diantara anggota World Trade Organization (WTO) dalam hal
kompetisi ekspor.
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan tidak hanya
menyangkut aksesibilitas, ketersediaan dan stabiulitas pasokan pangan, namun
juga berkaitan dengan penyediaan lapangan kerja, hak-hak asasi manusia,
khususnya hak atas pangan. Ketahanan pangan juga menyangkut nilai-nilai sosial,
politik dan budaya serta hak untuk terbebas dari kelaparan, seperti tercantum
dalam Human Right Declaration.
Ada sebagian anggota WTO yang
menyatakan bahwa ketahanan pangan hanya dapat dicapai melalui perdagangan bebas
dengan membebaskan impor dari berbagai hambatan dan tidak perlu melalui
kebijakan swasembada pangan. Dalam hal ini ketahanan pangan dapat diatasi
melalui mekanisme pasar dengan melakukan impor sebesar-besarnya dengan harga
yang sangat murah.
Multifungsionalitas
Fungsi pertanian sangat beragam dan
tidak semata-mata menyangkut aspek perdagangan. Fungsi pertanian juga
menyangkut fungsi lain seperti pemeliharaan dan kesejahteraan lingkungan,
ketahanan pangan, pengembangan pedesaan, pengentasan kemiskinan dan penampung
tenaga kerja di pedesaan. Perbedaan interpretasi tentang fungsi pertanian
antara negara-negara maju dan berkembang menjadikan fungsionalitas sebagai isu
yang kontroversial.
Implikasi Strategis Bagi Pembangunan
Perkebunan
Dinamika lingkungan strategis,
seperti diuraikan di atas, mengharuskan adanya penyesuaian dalam kebijakan
pembangunan perkebunan. Pemerintah ditantang untuk lebih berperan nyata dalam
pembangunan perkebunan Indonesia dengan orientasi pemecahan masalah dan
proaktif dalam mengantisipasi dampak dari dinamika lingkungan strategis dan
siap memberikan masukan bagi pelaksana program pembangunan perkebunan.
Mekipun telah tersedia berbagai
hasil teknologi untuk pengembangan perkebunan, seperti klon-klon unggul,
teknologi produksi, dan pengolahan, namun pembangunan perkebunan masih perlu
ditingkatkan. Oleh karena itu, pembangunan perkebunan perlu ditingkatkan untuk
menghasilkan hal-hal yang berkaitan dengan:
1.
Pengembangan
kelembagaan. Selama ini masih terdapat kelembagaan (UU, peraturan dan lembaga
perkebunan) yang belum dapat menyelesaikan masalah. UU Perkebunan yang sedang
diproses harus segera ditindaklanjuti dengan penyusunan PP dan kelengkapan
legal lainnya.
2. Peningkatan
efektifitas pemanfaatan hasil riset perkebunan. Hal ini diperoleh dengan adanya
“net working” antara lembaga riset perkebunan dengan pengguna “stakeholders”,
sehingga hasil riset perkebunan dapat segera dimanfaatkan.
Pada sisi lain, lembaga yang
bertanggungjawab di bidang perkebunan sudah saatnya menyusun rencana strategis
yang didalamnya sudah memfokuskan pada keterkaitan secara simultan antara
masalah-masalah kesejahteraan masyarakat, pengusahaan lahan, integrasi hulu dan
hilir, kesehatan dan kelestarian lingkungan, bioteknologi, sistem dan usaha
agribisnis perkebunan, data dan informasi agribisnis perkebunan dan kebijakan
perkebunan.
A. Kesejahteraan Masyarakat
Paradigma yang baru, pembangunan
perkebunan adalah pensejahteraan manusia dan masyarakat melalui pembangunan
komoditas perkebunan. Jelas terlihat bahwa masyarakat merupakan subjek
pembangunan, sedangkan komoditas perkebunan menjadi sarananya. Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa tidak semua keberhasilan dalam meningkatkan
produksi perkebunan berdampak pada penigkatan pendapatan dan taraf hidup petani
perkebunan. Keberhasilan pembangunan perkebunan harus diukur dari peningkatan
kesejahteraan petani dan pelaku lainnnya.
B. Pengusahaan Lahan
Fenomena tentang pengusahaan lahan
menunjukkan bahwa pengusahaan lahan perkebunan yang ada belum menjamin
keberlanjutan usaha perkebunan. Mengingat bahwa usaha perkebunan merupakan aset
produktif pemerintah, keberlanjutannya perlu dijaga. Keberlanjutan tidak hanya
menyangkut kerjasama terpadu untuk melakukan usaha budidaya tanaman antara
badan usaha dengan masyarakat atau keterpaduan kegiatan budidaya tanaman dengan
industri dan pemasaran produk. Keberlanjutan tidak hanya menyangkut dimensi
ruang, tetapi juga menyangkut dimensi waktu. Oleh karena itu, rekayasa kelembagaan
pengusahaan lahan antar pelaku usaha perkebunan perlu dikembangkan. Berbagai
rekayasa kelembagaan dimaksud harus berorientasi pada adanya pola distribusi
manfaat secara adil.
C. Pengintegrasian Hulu – Hilir
Sebagai konsekuensi dari
pengembangan perekonomian dunia, pengusahaan komoditas primer cenderung kurang
menguntungkan. Terlihat kecenderungan harga komoditas primer semakin merosot,
sedangkan harga komoditas sekunder dan turunannya cenderung meningkat. Juga
terlihat peningkatan nilai tambah yang sangat nyata bila mengolah komoditas
primer menjadi komoditas yang lebih hilir. Kenyataan ini menuntut dilakukannya
pengusahaan perkebunan secara terintegrasi melalui sektor hulu tengah dan hilir
untuk mengintegrasikan pengusahaan komoditas primer dengan komoditas yang lebih
hilir.
D. Kelestarian Lingkungan
Upaya pelestarian lingkungan tidak
hanya diperlukan saat pembukaan lahan dan penata gunaan tanah. Juga selama
kegiatan pembudidayaan sampai ke pengolahan hasil. Pelestarian lingkungan pada
semua tahapan produksi perlu menjadi tekad masyarakat, terlebih dalam
menghadapi semakin nyaringnya tuntutan pada “produksi hijau”. Selain itu, tekad
masyarakat melestarikan lingkungan dapat menjadi perisai terhadap
kecaman-kecaman tentang kerusakan lingkungan perkebunan.
E. Bioteknologi
Upaya peningkatan produktivitas dan
mutu produk yang sesuai dengan dinamika lingkungan diharapkan dapat dilakukan
melalui penelitian bioteknologi. Manipulasi potensi genetik melalui penelitian
biologi molekuler, mikrobiologi, bioproses, kultur jaringan dan rekayasa
genetika harus dihasilkan untuk memenuhi harapan di atas.
F. Sistem dan Usaha Agribisnis
Perkebunan
Upaya mengintegrasikan hulu dan hilir
perlu mendapat dukungan tersendiri dari berkembangnya sistem dan usaha
agribisnis perkebunan. Keterkaitan sejak subsistem sarana produksi hingga
subsistem pemasaran/perdagangan perlu dikembangkan dan melibatkan pelaku usaha
(perorangan atau kelompok dan perusahaan) yang profesional. Pengembangan sistem
dan usaha agribisnis perkebunan harus mampu mensinergikan setiap subsistem dan
pelaku usaha, disamping mendorong pemerintah untuk senantiasa sebagai
fasilitator pengembangan dimaksud.
G. Analisis Kebijakan
Upaya pengembangan subsektor
perkebunan tidak terlepas dari peranan pemerintah sebagai penentu kebijakan.
Oleh karena itu, analisis kebijakan - dengan cakupan lintas komoditas,
subsistem dan sektor - diperlukan untuk membantu pemerintah dalam perumusan
kebijakan. Kebijakan yang diambil merupakan kebijakan yang diperlukan untuk
mengembangkan sistem dan usaha perkebunan atau subsektor perkebunan. Analisis
kebijakan ini juga diperlukan untuk menangkap isu-isu aktual, baik nasional
maupun internasional, yang berkaitan dengan perkebunan dan pemerintah
memerlukan hasil analisis ini untuk keperluan-keperluan “ad hoc”.
H. Pengembangan Pusat Data dan
Informasi Agribisnis Perkebunan
Untuk keperluan riset dan analisis
kebijakan, data dan informasi yang tersedia secara cepat, lengkap dan akurat
merupakan salah satu penentu utama kemajuan riset perkebunan. Data dan
informasi yang ada saat ini dirasakan masih perlu dilengkapi dengan data dan
informasi yang spesifik tentang agribsinis perkebunan. Pengembangan data dan informasi
agribisnis perkebunan ini diharapkan dapat menghimpun data dan informasi yang
strategis untuk keperluan bisnis dan kebijakan.
Baccarat: A Guide to Baccarat
BalasHapusBaccarat choegocasino is a fast-paced, fun-loving, fast-paced game played in the kadangpintar style of Baccarat, which febcasino is a very popular game. The rules are very